MATERI PENGAYAAN
Standar Kompetensi (Tarikh dan Kebudayaan
Islam) :
7. Memahami perkembangan Islam di Nusantara.
Sekolah : SMP Negeri 6 Sragen
Kelas / Semester : IX / 1
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Guru PAI :
Triyanto
ISLAM DI
INDONESIA
Syiar Damai di Nusantara
Indonesia adalah negara dengan
populasi muslim terbesar di dunia. Namun demikian, Indonesia bukanlah negara
Islam, atau negara yang menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan hukum Islam.
Islam juga bukan lahir di Indonesia, melainkan di jazirah Arab. Lho, bagaimana
dengan Nangro Aceh Darussalam? Propinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan daerah
istimewa yang diberikan otonomi khusus, termasuk diperbolehkannya penerapan
hukum Islam. Namun secara umum, Indonesia tetap bukan negara Islam.
Jumlah
penduduk muslim yang besar ini merupakan sebuah prestasi gemilang, yang
berhasil dicapai oleh para penyebar agama Islam terdahulu di Nusantara. Apa sih
yang menjadikan Islam Nusantara begitu istimewa? Yang istimewa dari masuk dan
diterimanya agama Islam oleh masyarakat tanah air itu adalah Islam damai.
Maksudnya, bukan melalui jalan kekerasan, namun melalui berbagai langkah dan
metode yang persuasif. Dalam lembaran sejarah syiar Islam di Nusantara, hampir
tidak ditemukan konflik besar dalam penyebaran agama Islam, baik yang dilakukan
oleh para saudagar dari mancanegara maupun oleh para wali dan ulama. Para
penyebar ajaran Islam ini mampu menunjukkan kepada penduduk di tanah air dakwah
yang persuasif. Para penyebar agama Islam menempuh pendekatan dagang, sosial
kemasyarakatan, perkawinan dan budaya. Bahkan Walisongo mampu mengemas dakwah
melalui pendekatan tradisi dan budaya lokal, sehingga penerimaan agama Islam
lebih merasuk ke dalam hati masyarakat. Mereka menggunakan metode yang sangat
akomodatif dan fleksibel. Unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Budhisme)
tidak serta merta dicabut dari akar masyarakatnya. Nilai-nilai Islam secara
halus dan berangsur-angsur dimasukkan ke dalam nilai dan tradisi lama. Metode
seperti ini disebut metode sinkretisme. Sebagai contoh dari penerapan metode
ini antara lain; dalam bidang ritual, membakar kemenyan yang pada mulanya
merupakan sarana penyembahan para dewa, tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga
sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa. Dengan
keharuman kemenyan itu, diharapkan doa yang dipanjatkan lebih khusyuk. Dalam
seni bangunan, atap masjid tetap mengadopsi model bangunan lama yakni dengan
atap bersusun tiga. Tiga lapisan atap itu kemudian ditafsirkan sebagai
simbolisasi iman, islam dan ikhsan. Sunan Kudus tetap memberlakukan larangan
menyembelih sapi, sebagai bentuk toleransi terhadap kepercayaan lama. Namun
demikian, sambil menerapkan toleransi itu beliau memberikan penjelasan logis
mengenai kelemahan dan kekurangan dewa sebagai sesembahan melalui cerita Hyang
Manik Maya (Batara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Itulah beberapa
contoh upaya mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan nilai-nilai
Islam.
Di
samping kejujuran, keuletan, kesabaran dan keutamaan pribadi para peyebar Islam
di tanah air, faktor lain yang ikut mendukung proses Islamisasi di Nusantara
adalah kesederhanaan agama Islam. Maksudnya, agama Islam lebih simpel dan lebih
mudah dilaksanakan. Dalam hal upacara-upacara keagamaan, Islam memiliki tata
upacara keagamaan yang lebih mudah dan sederhana, sehingga tidak memberatkan
dan menyusahkan pemeluknya. Untuk memeluk agama Islam-pun seseorang cukup
mengucapkan kalimat syahadat. Corak Islam yang dikembangkan di Nusantara
(khususnya di Jawa) lebih dekat dengan pendekatan sufistik yang bisa dikatakan
identik dengan paham mistis agama sebelumnya, sehingga tidak menimbulkan
gejolak sosial di masyarakat.
Jika
kita tengok pada masa kini, dapat kita jumpai bahwa wilayah yang memiliki
pengaruh Hindu-Budha yang relatif minim, akan dapat diislamkan secara mendalam.
Sebaliknya, wilayah yang kuat pengaruh Hindu-Budhanya, akan terlihat paling
dangkal pemahaman keislamannya.
Islamisasi
Nusantara sungguh berjalan dengan penuh kedamaian, nyaris tanpa konflik politik
maupun kultural. Hampir semua lapisan masyarakat, mulai rakyat jelata hingga
para pengauasa berhasil didekati dan diislamkan. Kalupun terjadi konflik
politik ataupun budaya, skalanya relatif kecil dan tidak meluas, tidak
mengesankan kekerasan, pemaksaan ataupun perang. Di samping kepiawaian para
penyebar Islam, nampaknya kepribadian dan keramah-tamahan rakyat Nusantara ikut
menunjang situasi syiar Islam secara damai.
Sungguh
menarik bukan? Nah, tentu kalian ingin mengetahui lebih mendalam proses masuk
dan berkembangnya Islam di Nusantara. Jika demikian, ayo kita kaji bab ini
dengan seksama.
A. Masuk dan
Berkembangnya Islam di Nusantara
Tentunya kalian telah akrab dengan
sebutan Nusantara, kan? Indonesia yang pada masa dahulu masih dikenal dengan
Nusantara telah lebih dahulu berkenalan dengan agama lain yakni Hindu dan
Budha. Pada saat itu di beberapa wilayah di tanah air seperti di Kalimantan dan
Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan besar yang menganut dua agama terdahulu
itu. Kekayaan alam Nusantara telah mengundang saudagar-saudagar dari berbagai
negara manca untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan melalui perdagangan.
Saudagar-saudagar dari Arab, Persi, Gujarat (India) bahkan dari Cina
berduyun-duyun datang ke Nusantara secara rutin untuk berdagang. Bermula dari
kegiatan dagang inilah misi syiar Islam berkembang di tanah air.
Para
ahli nampaknya tidak bisa menemukan kata sepakat tentang kapan sesungguhnya
agama Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Bisa jadi, agama Islam telah dibawa
ke kepulauan Nusantara sejak abad-abad pertama Hijrah oleh para saudagar Arab.
Dugaan ini didasarkan kepada bukti sejarah (yang belum kita miliki saat itu),
bahwa telah terjadi ekspedisi-ekspedisi dagang yang luas ke dunia Timur, yang
dilakukan oleh para pedagang Arab sejak masa awal Islam. Perdagangan Arab
dengan Cina melalui jalur Ceylon (Srilanka) telah tumbuh pesat pada awal abad
ke-7 Masehi. Sehingga pada abad ke-8 jumlah pedagang Arab yang bisa dijumpai di
Canton, salah satu pusat perdagangan Cina, sudah sedemikian banyak. Antara abad
10 hingga 15 Masehi, dimana penjelajahan Portugis dimulai, para pedagang Arab
telah menjadi “penguasa” dunia perdagangan di wilayah Timur. Berdasarkan bukti
sejarah tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa, mestinya mereka telah
membangun pangkalan-pangkalan perdagangan di kepulauan Nusantara sejak masa
awal penyiaran agama Islam. Hal ini didasarkan pada kebiasaan para saudagar
Arab ketika berada di tempat-tempat lain. Namun demikian, catatan sejarah para
ahli ilmu bumi bangsa Arab baru menyebut kepulauan Nusantara di dalam
tulisan-tulisan mereka, pada abad ke-9 Masehi. Sementara, menurut catatan
sejarah Cina yang ditulis pada tahun 674 Masehi, menyebutkan bahwa seorang
pemimpin Arab yang membawa rombongan dagang telah menetap di Pantai Barat
Sumatera.
Kesamaan Mazhab
Satu aspek yang bisa menjadi petunjuk
penyebaran Islam di Indonesia adalah mazhab yang dianut oleh penduduk
Nusantara. Dugaan sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa para penyebar agama
Islam di Nusantara berasal dari India selatan. Catatan sejarah Ibnu Batutah (seorang
pelaut dan penjelajah kenamaan dari Maroko) ketika mengunjungi wilayah ini pada
pertengahan abad ke-14 menyebutkan, terdapat kesamaan mazhab yang dianut oleh
kedua wilayah ini. Kebanyakan penduduk Nusantara, (bahkan hingga saat ini)
banyak yang menganut mazhab Syafi’i yang juga merupakan mazhab dominan
yang dianut para penduduk di pantai Coromandel dan Malabar, di India selatan.
Jadi bila kita memperhatikan negeri-negeri tetangga yang bermazhab Hanafi, maka
pengaruh mazhab Syafi’i yang banyak dianut oleh penduduk Nusantara diduga kuat
berasal dari pantai Malabar. Catatan sejarah juga menyebutkan bahwa kota-kota
pelabuhan di Malabar ini sering dikunjungi oleh para pedagang yang berasal dari
Jawa, Cina, Persia dan Yaman.
Jika
bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda lebih
menggunakan strategi pendudukan atau penguasaan wilayah, para saudagar Arab ini
lebih mengedepankan strategi pendekatan persuasif. Dalam menyiarkan agama
Islam, mereka melakukan kontak dagang, hubungan pernikahan dengan penduduk
setempat, maupun pendekatan secara politis kepada para penguasa setempat.
Inilah kelebihan yangbisa dicatat dalam penyiaran agama Islam di Nusantara.
Dengan kekuatan dan cara inilah para pedagang Arab yang kemudian bermukim di Nusantara,
meletakkan dasar-dasar kekuatan sosial dan politik guna mendukung kegiatan
dakwah mereka. Mereka tidak datang sebagai penakluk sebagaimana bangsa Spanyol
pada abad ke-6, mereka juga tidak merebut hak para penguasa wilayah pada saat
itu, namun mereka lebih memilih jalur perdagangan, memanfaatkan kecerdasan dan
peradaban mereka yang tinggi untuk berdakwah. Bahkan, hasil keuntungan
perdagangan itu lebih mereka manfaatkan sebagai modal untuk berdakwah.
Sebuah
catatan sejarah Tarikh Melayu menyebutkan seorang Arab bernama Abdullah
Arif, merupakan penyiar Islam pertama di Aceh. Konon, ia mengunjungi daerah itu
pada pertengahan abad ke-12. Bahkan disebutkan, salah seorang muridnya yang
bernama Burhanuddin telah mengembangkan syiar Islam ke selatan menyusuri pantai
barat Sumatera hingga ke Pariaman. Tarikh Aceh mencatat bahwa tahun 1205
merupakan tahun penobatan Johan Shah, seorang asing yang datang dari
Barat, sebagai pendiri kerajaan Islam setempat. Catatan lain adalah kisah
perjalanan Marco Polo, yang pernah menetap selama lima bulan di pantai utara
Sumatera pada tahun 1292. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk di
wilayah pedalaman masih menganut paham kepercayaan Pelbegu (menyembah batu).
Namun, di Kerajaan kecil Perlak, di ujung timur laut pulau Sumatera,
penduduk kotanya telah beragama Islam.
Untuk beberapa kurun waktu, agama Islam hanya
berkembang pesat di kota-kota pelabuhan sebagai tempat persinggahan para
saudagar Islam. Pernyebaran Islam ke daerah pedalaman berjalan agak lambat
dikarenakan masih kuatnya pengaruh Hinduisme dengan pusatnya di Kerajaan
Minangkabau.
Menurut keterangan J.C.Van Leur, bahwa sejak
tahun 674 Masehi sudah ada koloni Arab di Barat laut Sumatra, yaitu di Barus,
daerah penghasil kapur barus yang terkenal. Catatan Cina dari Dinasti Tang juga
menyebutkan bahwa orang-orang Tashih (sebutan untuk pedagang Muslim dari
Arab dan Persia) sudah berada di Canton dan Sumatera. Pendapat senada
dikemukakan DR. Hamka, yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia
pada abad ke-7 (674 M). Pernyataan ini didasarkan pada catatan Tiongkok bahwa
pada abad itu di Jawa telah berdiri sebuah kerajaan Buddha yang bernama
Kalingga. Karena terkenal dengan kemakmurannya, maka terdengar hingga ke negeri
Arab, yang saat itu diperintah oleh Daulah Umayyah. Muawiyah bin Abu Sufyan,
sebagai pemimpin saat itu, telah mengirim misi dakwah ke tanah Jawa
Dalam
Ensiklopedi Islam disebutkan, kemunculan Samudera Pasai sebagai sebuah kerajaan
Islam pertama diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke-13. Hal
ini sebagai hasil dari proses panjang Islamisasi daerah-daerah pantai yang
pernah disinggahi para pedagang muslim sejak abad ke-7. Bukti sejarah
berdirinya kerajaan Samudera Pasai adalah nisan kubur dari Samudera Pasai di
Gampong Samudera yang bertuliskan nama Sultan Malikush Shaleh, rajanya
yang pertama, dan berangka tahun 696 H (1297 M). Letak kerajaan Pasai yang
indah di tepi selat Malaka, menyebabkan Pasai menjadi pelabuhan Samudera.
Karenanya, datanglah berduyun-duyun para pedagang dan santri Arab, Malaka,
Persia, Gujarat, dan Cina Islam.
Proses penyebaran Islam di tanah air
tidak hanya berhenti di pulau Sumatera. Aktivitas dakwah Islam meluas ke
daerah-daerah pesisir di pulau-pulau lain. Perkembangan berikutnya menunjukkan,
agama Islam menyebar ke berbagai kota besar dan pesisir Jawa. Tercatat beberapa
kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan sekaligus penyebaran Islam oleh
para saudagar muslim seperti; Demak, Banten, Cirebon, Sunda Kelapa (Jakarta),
Surabaya. Di pulau Kalimantan tercatat kota Banjarmasin, yang selanjutnya
menjadi pusat penyebaran agama Islam di pulau itu. Di pulau Sulawesi kita kenal dua kerajaan besar yaitu
Makassar dan Bugis yang menjadi pusat komunitas dan penyebaran Islam. Penyebaran
Islam bahkan juga menjangkau wilayah Maluku, terlihat dengan kemunculan
kerajaan Ternate dan Tidore. Untuk selanjutnya, dari pusat-pusat Islam di
masing-masing pulau itulah kemudian kegiatan penyiaran agama Islam berkembang
luas menjangkau daerah-daerah sekitarnya.
Sejarah
penyiaran Islam di Indonesia, jelas tidak bisa dilepaskan dari peran para
saudagar Islam. Dengan kegigihannya, mereka telah mampu membumikan kalimat
Allah di Indonesia. Bahkan dengan kepiawaiannya itu raja-raja di Nusantara pada
waktu itu tidak merasakan kehadiran para saudagar sekaligus penyebar agama
Islam itu sebagai ancaman.
Jika
abad ke-7 Masehi dipandang sebagai awal masuknya Islam di tanah air, maka hal
ini menunjukkan bahwa perkembangan Islam di Indonesia hampir bersamaan dengan
perkembangan Islam di tempat asalnya, yakni di tanah Arab. Hal ini berarti,
bahwa Islam yang sampai ke tanah air masih merupakan ajaran Islam yang relatif
masih murni, karena belum terpaut jauh dari masa hidup Rasulullah Saw.
Dominasi
Hindu-Budha
Sebelum
agama Islam masuk ke tanah air, dua agama lain telah berkembang dan eksis di
Nusantara, yaitu Hindu dan Budha. Bukti keberadaan kedua agama itu adalah
berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di berbagai tempat di Nusantara.
Adapun kerajaan Hindu dan Budha yang telah eksis di tanah air antara abad ke
7-12 Masehi yaitu:
1. Kerajaan Hindu
- Kutai di Kalimantan
- Mataram Hindu (Kerajaan
Sanjaya) di Jawa Tengah
- Majapahit di Jawa Timur
- Tarumanegara di Jawa
Barat
- Galuh di daerah Ciamis
Jawa Barat
- Warmadewa atau Udayana
di Bali
- Pajajaran di Pakuan
(sebelah barat sungai Citarum) Jawa Barat
2. Kerajaan Budha
- Syailendra di Jawa
Tengah
- Kalingga di Jawa Tengah
B. Perkembangan Islam dan
Munculnya Kerjaan Islam di Nusantara
1. Islam di Sumatera
Pulau
Sumatra merupakan daerah yang paling awal terjadi kontak dengan agama Islam,
melalui jalur perdagangan Para saudagar dari Arab, Persia dan Gujarat kali
pertama melakukan transaksi perdagangan di bandar-bandar yang terletak di
pesisir pantai Sumatera. Kota-kota di pesisir pantai utara, Samudera Pasai dan
Perlak, tercatat sebagai titik-titik aktivitas perdagangan yang cukup ramai
dikunjungi para saudagar muslim.. Hal ini logis, karena secara geografis letak
daerah-daerah tersebut relatif lebih dekat dengan negara asal para saudagar
tersebut. Pada mulanya agama Islam hanya dianut oleh penduduk di bagian pesisir
dan perkotaan saja. Orang-orang pesisir yang belum mau menganut Islam lebih
memilih pindah ke pedalaman.
Memasuki
abad ke-13 Masehi, perkembangan Islam di pulau Sumatra menunjukkan perkembangan
yang cepat Komunitas Muslim di Samudera
Pasai dan Perlak menunjukkan peningkatan jumlah yang sangat berarti. Bahkan
menurut riwayat turun temurun di kota Samudra, eksistensi Islam lebih kokoh
setelah raja Samudera Pasai yang bernama Marah Silu masuk Islam atas
ajakan Syeikh Ismail (seorang pemimpin utusan Syarif Makkah). Setelah
memeluk Islam, Marah Silu mengubah namanya menjadi Malik al Saleh. Raja
Pasai ini menikahi putri dari kerajaan Perlak yang bernama Ganggang Sari
sehingga perpaduan kedua kerajaan tersebut menjadi kekuatan besar bagi dakwah
Islam di Sumatara dan daerah-daerah sekitarnya.
Kerajaan
Samudera Pasai terletak dipesisir timur laut Aceh, yang pada masa sekarang ini
masuk wilayah Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara).Kerajaan ini beribukota di
muara Sungai Pasangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang
jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal masuk ke pedalaman.
Terdapat dua kota yang terletak berseberangan di muara Sungai Pasangan, yaitu
Samudera dan Pasai. Kota Samudera lebih berada di pedalaman, sedangkan kota
Pasai lebih dekat dengan muara sungai.
Catatan
Ibnu Batutah pada tahun 1345 menyebutkan, bahwa ketia ia mengunjungi Pasai,
pada saat itu raja yang berkuasa bernama Al-Malikuz Zahir, yang diyakini
sebagai putera tertua Malikus Salih. Menurut Ibnu Batutah, Raja ini benar-benar
menampakkan citra sebagai seorang raja Islam. Batas kerajaannya kian meluas,
sehingga membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyusuri pantai wilayah
kekuasaannya. Malikuz Zahir dikenal sebagai seorang pemimpin yang ortodoks,
gemar bertukar pikiran para ahli fiqih dan Ushul, sehingga istananya ramai
dikunjungi oleh para cendekiawan dari berbagai negeri. Ia juga menjalin
hubungan dengan dunia Islam, antara lain dengan Persia dan Delhi. Ia juga dikenal
sebagai seorang raja Islam yang tak segan-segan memerangi negeri-negeri
penyembah berhala di sekitar wilayah kekuasaannya. Banyak negeri yang kemudian
takluk di bawak kekuasaan Samudera Pasai.
Kerajaan
Samudera Pasai berdiri hingga tahun 1524 Masehi. Pada tahun 1521, kerajaan ini
ditaklukkan oleh Portugis yang kemudian mendudukinya selama tiga tahun. Setelah
itu, sejak tahun 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai berada di bawah
pengaruh Kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Di
samping Samudera Pasai dan Perlak, di pulau ini pula terdapat pula Kerajaan
Aceh yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada permulaan abad ke-16 M.
Ia memerintah antara tahun 1507 hingga 1522, sebagai orang yang pertama memeluk
agama Islam yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.
Dari
Pasai ini, Islam tersebar ke berbagai wilayah yaitu; sebagian besar Aceh,
Pariaman, Minangkabau, sepanjang pesisir utara dan selatan Pulau Sumatera,
Malaka dan pulau-pulau sekitarnya, serta ke Pulau Jawa. Bahkan orang-orang muslim
dari Sumatera Tengah yang suka merantau, telah menyiarkan Islam hingga ke Pulau
Kalimantan dan Sulawesi. Berdasarkan catatan sejarah, pulau Sumatera merupakan
titik tolak penyiaran Islam di Nusantara. Dari Sumatera inilah Islam
mengepakkan sayap dakwahnya ke berbagai penjuru di tanah air.
2.
Islam di Jawa
Menurut sebagian ahli sejarah, penyiaran
agama Islam di Pulau Jawa dirintis oleh para saudagar muslim dari Malaka.
Malaka pada waktu itu merupakan sebuah kerajaan besar yang mencapai puncak
kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah. Para saudagar muslim itu
pada mulanya merambah daerah-daerah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di daerah-daerah ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang telah melepaskan
diri dari kekuasaan Majapahit seperti; Demak, Banten, Jepara, Tuban dan Giri.
Melalui hubungan perdagangan itu, akhirnya masyarakat Jawa mengenal Islam.
Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa,
dakwah dan penyebaran agama Islam di pulau Jawa bisa dikatakan lebih merupakan
usaha perorangan dari penduduk pribumi dan rombongan-rombongan kecil kaum
pendatang. Hal ini disebabkan, di Jawa hampir belum ada kekuatan Islam yang
terkonsentrasi, yang dapat dijadikan sebagai basis dakwah, atau memaksakan
penyebaran Islam dengan jalan peperangan. Justru para muballig Islam dihadapkan
pada kuatnya pengaruh agama Hindu yang telah kuat mengakar dalam kehidupan
penduduk Jawa. Kenyataan tersebut mengakibatkan dakwah Islam di pulau Jawa
berjalan relatif lambat pada masa-masa awal.
Tercatat usaha pertama penyiaran Islam di
tanah Jawa adalah pada akhir abad ke-12. Raja pertama Pajajaran di Jawa Barat
memiliki dua orang putra. Putra tertua lebih memilih profesi pedagang dan
berkelana hingga ke India. Ia menyerahkan tampuk kerajaan kepada adiknya, yang
naik tahta pada tahun 1190 dengan nama Prabu Munding Sari. Dalam usaha
perdagangannya ini, putra tertua banyak melakukan kontak dengan para saudagar
muslim Arab. Ia mmemeluk agama Islam dengan nama Haji Purwa. Ketika pulang ke
Pajajaran, dengan bantuan seorang muballig Arab, ia berusaha mengajak
saudaranya beserta keluarga raja untuk memeluk Islam. Usaha ini mengalami
kegagalan, dan Haji Purwa akhirnya melarikan diri karena takut terhadap
tindakan raja kepadanya.
Usaha dakwah Islam di Jawa yang dipandang
lebih sukses adalah yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim. Pada akhir abad
ke-14, beliau mendarat di pantai Jawa Timur beserta beberapa orang kawannya,
untuk selanjutnya menetap di kota.Gresik. Konon, Maulana Malik Ibrahim adalah
anak Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad saw. dan saudara sepupu Raja Chermen
(menurut sebagian pendapat Chermen berada di India, namun sebagian lagi
menyebutkan di Sumatera). Kedatangan Maulana Malik Ibrahim disertai Raja
Chermen, bermaksud mengislamkan Raja Majapahit yang beragama Hindu. Untuk
maksud tersebut, serta dalam rangka menjalin persahabatan antara kedua
kerajaan, ia menawarkan putrianya untuk diperistri oleh Raja Majapahit. Misi
ini belum sempat menemui titik sasaran, karena rombongan tersebut terserang
penyakit hingga banyak yang meninggal. Kegagalan tersebut tidak menyurutkan
tekad Maulana Malik Ibrahim untuk tetap menyiarkan Islam di daerah sekitarnya.
Ia tetap tinggal di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam hingga wafatnya pada
tahun 1419 Masehi. Makamnya di Gresik masih banyak diziarahi masyarakat Jawa
hingga kini, dan dipandang sebagai penyiar Islam pertama di Jawa.
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang padat
penduduk, secara politik berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit,
sementara di Jawa Barat terdapat Kerajaan besar Pajajaran, meskipun beberapa
bagian wilayah seperti Cirebon dan beberapa Kerajaan kecil telah memisahkan
diri.
Bagaimana dengan Kerajaan Demak? Kerajaan
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri antara tahun
1500-1550 Masehi, yang didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518). Ia adalah
seorang bangsawan Kerajaan Hindu Majapahit yang ditugasi menjabat sebagai
Adipati di Bintoro, Demak. Sebenarnya Raden Fatah telah memendam luka lama
terhadap Majapahit. Dengan bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dulu
menganut Islam seperti; Gresik, Tuban dan Jepara, Raden Fatah secara
terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah
mengalami masa kemunduran. Ia mendirikan kerajaan Islam yang beribukota di
Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak.
Sebagian sejarawan menarik kesimpulan, bahwa
kejatuhan Majapahit terjadi pada tahun 1535. Namun sebagian pendapat menyebut
pada tahun Jawa 1400 (1478 M). Era keruntuhan itulah yang kemudian memunculkan
Kerajaan Islam Demak, menggeser dominasi Majapahit dalam sejarah Jawa. Menurut
catatan perjalanan Tome Pires, Kesultanan Demak secara berturut-turut dipimpin
oleh tiga orang raja yakitu; Raden Fatah, Adipati Unus atau Pati Yunus (Prabu
Anom, Pangeran Palembang Anom atau Pangeran Sabrang Lor) sebagai raja kedua
menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1518, dan Sultan Trenggono (Ki Mas
Palembang atau Maulana Trenggono), yang tak lain saudara Adipati Unus, sebagai
raja ketiga (1524-1546).
Sultan Trenggono dipandang sebagai raja Demak
yang membawa kerajaan Islam ini menuju puncak kejayaan. Kerajaan Demak pada
saat itu berhasil memainkan peran strategis, sebagai basis perjuangan syiar
Islam di tanah air pada permulaan abad ke-16. Daerah kekuasaan Demak meliputi
seluruh pulau Jawa, bahkan telah meluas ke beberapa pulau-pulau besar di
Nusantara. Pedagang Islam di Banten telah didukung oleh Demak untuk meruntuhkan
dominasi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Dengan jatuhnya Pajajaran, kontrol
lalu-lintas dan perdagangan di selat Sunda beralih ke Demak. Lampung sebagai
lumbung lada di seberang selat Sunda berhasil dikuasai Demak, dan penduduknya
juga berhasil ditarik memeluk Islam.
Di samping melakukan ekspansi wilayah ke Jawa
Barat, Demak juga bergerak ke arah timur.dan luar pulau Jawa. Tercatat pada
tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak telah berhasil menguasai Tuban, disusul
setahun berikutnya daerah-daerah; Wirosari (Purwodadi), tahun berikutnya
menduduki Gagelang (Madiun), Medangkungan (Blora, tahun 1530), Surabaya (1531),
Pasuruhan (1535), Lamongan (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan
Mamenang (Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544).
Di luar pulau Jawa, pengaruh Kesultanan Demak
merambah hingga Kesultanan Banjar di Kalimantan. Pengaruh Demak atas Kesultanan
Banjar ini membuka peluang bagi perluasan syiar Islam di Kalimantan. Atas
dukungan para sultan di Banjar, pada masa-masa berikutnya Kerajaan Kotawaringin
menganut Islam (1620), disusul Kesultanan Kutai (1700).
Menurut sebuah laporan Portugis, di antara
para raja atau sultan yang telah memeluk agama Islam di Nusantara, raja dari
kesultanan Demak dipandang paling gigih dan terus-menerus melancarkan serangan
guna orang Portugis pada masa itu, yang dicap sebagai orang kafir.
Peninggalan sejarah kerajaan Demak yang masih
bisa kita saksikan hingga saat ini adalah Masjid Agung Demak yang terletak di
alun-alun pusat kota Demak. Masjid ini dibangun oleh Walisongo, dan merupakan
basis utama syiar Islam di tanah Jawa yang dilakukan oleh para wali.
Demikianlah upaya-upaya gigih yang
dilancarkan oleh Kerajaan Islam Demak dalam penyebaran Islam di pulau Jawa.
Perlu kalian ingat, bahwa peran para wali yang terkenal dengan sebutan
Walisongo sangat besar dalam penyebaran Islam di pulau Jawa. Dakwah Walisongo
ini akan kalian kaji pada bab tersendiri. Dapat dikatakan, pengaruh ajaran para
wali di kalangan masyarakat Jawa sedemikian besar, bahkan menyamai pengaruh
raja-raja masa itu. Karenanya, masyarakat memberi mereka gelar Sunan,
dimana julukan itu sebenarnya hanya dipakai oleh raja-raja saja.
3. Kalimantan, Sulawesi dan Maluku
Perkembangan Islam yang disebarkan dari
Kerajaan Malaka ternyata bukan hanya di Pulau Jawa, melainkan ke daerah-daerah
lain di seluruh Nusantara. Misalnya, di Banjar, Kalimantan Selatan berdiri
kerajaan Islam dengan rajanya yang bernama Pangeran Samudra. Selain itu, di
Kalimantan Timur berdiri kerajaan Kutai dengan rajanya bernama Raja Mahkota.
Seperti halnya di Sumatera dan Jawa, di
Kalimantan perkembangan Islam juga relatif pesat di wilayah-wilayah pesisir.
Sementara untuk wilayah pedalaman, membutuhkan waktu panjang, meskipun Islam
telah masuk ke Kalimantan pada abad ke-16. Pada mulanya, Islam hanya dianut
oleh rakyat di Banjarmasin. Kerajaan Banjarmasin merupakan taklukan Kerajaan
Hindu Majapahit, yang tunduk dan selalu membayar upeti hingga jatuhnya
Majapahit pada tahun 1478. Kerajaan Demak memiliki andil yang cukup besar dalam
penyiaran agama Islam di Banjarmasin. Pecahnya pemberontakan dalam negeri
Banjarmasin, mendorong rajanya datang ke Kerajaan Demak guna meminta bantuan untuk
menumpas pemberontakan itu. Permintaan tersebut dipenuhi dengan syarat Demak
diijinkan menyiarkan Islam di sana. Setelah syarat diterima, maka berangkatlah
tentara Islam dari Demak ke Banjarmasin untuk memadamkan pemberontakan itu.
Pemberontakan berhasil dipadamkan, selanjutnya dari Banjarmasin inilah
tersiarnya agama Islam di Kalimantan.
Ulama besar yang tak boleh dilupakan namanya
dalam usaha penyiaran Islam di Kalimantan adalah Syech Muhammad Arsyad
al-Banjari, yang wafat pada tahun 1808 M. Pada masa berikutnya, usaha
penyiaran Islam di Kalimantan dilanjutkan oleh anak cucunya.
Di tempat lain, ketika orang-orang Spanyol
berhasil mendarat di pantai barat laut pada tahun 1521, mereka telah menjumpai
Kerajaan Islam Brunei. Selang beberapa waktu, yakni pada tahun 1550,
agama Islam telah masuk ke Sukadana (Kalimantan Barat), yang dibawa oleh
orang-orang Arab dari Palembang. Mulanya raja yang berkuasa di Sukadana tetap
mempertahankan keyakinan lamanya, selama kurang lebih 40 tahun. Namun sebelum
raja tersebut meninggal pada tahun 1590, Islam telah menampakkan kemajuan pesat
di daerah itu.Bahkan, raja penggantinya adalah seorang Islam.
Di Sulawesi tercatat dua kerajaan Islam
besar; yang pertama adalah Kerajaan Makassar dengan ibukotanya Goa. Raja
pertama yang memeluk Islam adalah Karaeng Tanigallo, yang berganti nama menjadi
Sultan Alauddin Awwalul Islam (tahun 1603 M). Puncak kejayaan kerajaan
Islam Makassar dicapai pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1669 M),
yang terkenal karena perlawanannya yang gagah berani melawan penjajah Belanda.
Penyiaran Islam melalui Makassar ini menjangkau wilayah dan pulau-pulau
sekitarnya seperti Sumbawa dan Nusa Tenggara bagian Timur. Kedua, adalah Kerajaan Bugis yang memperoleh
pengaruh syiar Islam dari para mubalig Makassar. Di samping pengaruh dari para
Mubalig Makassar, kontak dagang yang dilakukan oleh para pelaut Bugis ke Aceh
juga ikut memberikan warna penting bagi tersiar luasnya Islam di Bugis. Salah
seorang pelaut Bugis, yang bernama Daeng Mansur, sesampainya di Aceh diberi
gelar “Tengku” dari Bugis, dan cucu Daeng Mansur inilah yang menjadi raja Aceh
bergelar Alauddin Ahmad Syah dinobatkan pada tahun 1734 M.
Karena eratnya hubungan dan rasa persatuan
keagamaan, maka bentuk perumahan dan cara hidup orang Bugis banyak terjadi
kesamaan. Karenanya, jika ada orang Bugis datang ke Aceh atau sebaliknya,
mereka tidak merasa canggung sama sekali.
Meskipun tidak sebesar Kerajaan Makassar,
wilayah Maluku sebenarnya menerima dakwah Islam lebih awal. Kekayaan
rempah-rempah yang dimiliki oleh Maluku, telah menarik kedatangan para saudagar
muslim dari Nusantara maupun asing ke wilayah ini. Dari situlah, pada masa
selanjutnya lahir kerajaan-kerajaan Islam di Maluku yakni; Kerajaan Ternate,
Kerajaan Tidore, Kerajaan Bacan, Kerajaan Jailolo dan Halmahera. Penyiar agama
Islam yang terkenal di Maluku adalah Datuk Mula Husein Patih Putah dan Syech
Mansur.
C. Pengaruh Islam terhadap Peradaban Nusantara
Perkembangan peradaban di Nusantara sangat
dipengaruhi oleh kehadiran Islam di
wilayah ini. Posisi strategis Indonesia telah menjadikannya salah satu
pusat perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara. Lalu lintas
perdagangan internasional ini jelas memberikan kontribusi sosial-ekonomi bagi
wilayah Nusantara. Saudagar-saudagar muslim dari Arab, Persia, India, Cina dan
berbagai negara manca membawa pengaruh budaya mereka, sehingga ikut
mempengaruhi pola pikir, sikap dan budaya masyarakat tanah air. Kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan dapat dicapai oleh masyarakat tanah air.
Meskipun pada masa awal dakwah Islam lebih
bertumpu pada usaha para saudagar secara perorangan, namun ketika mereka telah
berhasil masuk ke elit penguasa dakwah Islam berkembang pesat. Kemajuan besar
yang dicapai dari dakwah Islam di Nusantara adalah, dengan masuknya para
Adipati maupun Raja ke dalam agama Islam. Karenanya, penyebaran Islam yang
dilakukan oleh para pedagang, pada masa berikutnya dilanjutkan oleh para
adipati atau raja dan para wali, sebagai pemegang kendali pemerintahan. Hal ini
turut memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan Islam,
khususnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Indonesia.
Kedudukan
politis para ulama yang diangkat sebagai penasihat kerajaan atau hakim dalam
pemerintahan, telah memberikan kesempatan yang luas kepada mereka dalam
menyebarkan Islam untuk daerah yang jauh melalui berbagai macam cara antara
lain dengan mencetak kader-kader da'i yang bertugas sebagai mubalig untuk
daerah-daerah yang jauh. Selain itu, para ulama juga giat menyusun buku dan
kitab, baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum. Selanjutnya, karya-karya
tersebut dicetak dan disebarluaskan kepada masyarakat sehingga dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan. Hal ini jelas mempercepat upaya mencerdaskan
masyarakat tanah air. Lebih dari itu, pemikiran dan gerakan para ulama yang
memberikan penyadaran terhadap masyarakat terhadap penjajahan (semangat
nasionalisme), telah memberikan kontribusi yang berarti bagi perjuangan melawan
dan mengusir penjajah.
Dalam
bidang arsitektur, ditandai dengan pembangunan masjid sebagai rumah ibadah
sekaligus pusat kegiatan umat. Banyak masjid yang dibangun oleh para wali yang
mengembangkan gaya arsitektur yang indah dengan sentuhan etnik dan budaya
setempat, misalnya, dalam pembangunan Masjid Agung Demak, Menara Kudus, Masjid
Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid Agung Baiturrahim
Aceh. Keindahan arsitektur maupun ornamennya membuat kagum masyarakat. Lebih
dari itu, sentuhan budaya lokal menjadikan kehadiran masjid dapat diterima oleh
masyarakat setempat, tanpa terjadi penolakan atau gejolak, sebagai akibat
adanya transisi ke agama baru. Inilah salah satu kepiawaian dan kecerdasan para
Wali dalam merespons karakteristik masyarakatnya.
Dalam
bidang seni dan budaya, para wali, ulama dan muballig berhasil membangun
harmoni antara budaya atau tradisi lama dengan ajaran Islam. Kita mengenal
wayang yang berdasar epos Hindu Ramayana dan Mahabarata dijadikan sebagai
sarana dakwah oleh para wali dan muballig. Wayang yang merupakan peninggalan
tradisi lama diolah dan dimaknai kembali oleh para wali dengan memasukkan unsur
ajaran Islam. Untuk mengiringi pementasan wayang, kita kenal gamelan dan
gending. Di samping seni yang memadukan dua unsur budaya, kita juga mengenal
juga masuknya seni budaya Islam ke tanah air seperti Qasidah dan Rebana.
Dalam
hal pengembangan intelektual, para ulama masa awal Islam telah merintis jalan
bagi terciptanya jaringan keilmuan antara Indonesia dengan manca negara,
khususnya pusat-pusat keilmuan Islam seperti; Mekah dan Madinah. Hal ini
memberikan dorongan kuat kepada ulama-ulama masa berikutnya, bahkan generasi
muda Islam masa sekarang, untuk memperdalam ilmu pengetahuan ke pusat-pusat
peradaban Islam dunia.
Apakah kegemilangan dakwah Islam masa awal
tersebut membuat kalian terkesan? Tentu ya! sebagai wujud kebanggan kita
terhadap prestasi para ulama terdahulu, kita wajib meneladani dan meneruskan
upaya-upaya yang telah dirintis itu dengan berbagai cara. Meningkatkan kualitas
ilmu pengetahuan kita merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar. Islam
harus mampu berkompetisi dan sejajar dengan kemajuan bangsa atau umat lain.
D. Belajar dari Sejarah
Kalian tentu bisa
membayangkan, menyiarkan sebuah agama baru kepada penduduk yang telah menganut
suatu agama bukanlah persoalan mudah dan ringan. Banyak kendala, tantangan
bahkan mungkin perlawanan. Diperlukan kepiawaian, keuletan dan kesabaran yang
tinggi untuk dapat menarik simpati penduduk, agar memeluk Islam. Kesuksesan
dakwah Islam di Indonesia ini antara lain disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain.
1.
Menyampaikan ajaran Islam atau berdakwah
merupakan kewajiban sebagaimana pesan Rasulullah saw. “Sampaikan daripadaku
walaupun satu ayat”. Hal ini memberi motivasi bagi setiap muslim, bahwa dakwah
merupakan kewajiban dan panggilan jiwa,
2.
Persyaratan untuk masuk Islam sangat mudah,
termasuk ritual ibadah di dalam agama Islam juga sangat mudah, tidak
memberatkan dan relatif tidak membutuhkan biaya besar, sehingga bisa diterima
oleh semua kalangan,
- Tidak
sebagaimana tradisi lama, ajaran Islam tidak mengenal pembedaan derajat
manusia berdasarkan kasta/gelar. Tingginya derajat hanya ditentukan
berdasarkan tingkat ketakwaan. Hal ini menunjukkan sifat demokratis dan
kesetaraan dalam agama Islam,
- Para ulama dan muballig
dalam berdakwah menggunakan pendekatan yang persuasif dan cara yang
simpatik, seperti melalui jalur perdagangan, kesenian dan budaya,
- Para ulama juga
memiliki kelebihan ruhaniah melalui ajaran tasawuf, mampu menampilkan
kepribadian yang luhur. Keutamaan sifat ini mampu menarik simpati dan
kekaguman masyarakat, sehingga mereka secara sukarela memeluk Islam
- Ajaran
Islam dipandang sesuai dengan karakter atau kepribadian bangsa Indonesia.
Memperhatikan perkembangan syiar Islam di
tanah air, maka perkembangan Islam di Indonesia sampai dengan terbentuknya
kerajaan-kerajaan Islam dapat dikelompokkan dalam tiga fase, yaitu:
- Kedatangan para
saudagar muslim mancanegara di kepulauan Nusantara dalam rangka berdagang
sekaligus berdakwah,
- Dengan semakin
banyaknya saudagar muslim mancanegara, maka terbentuklah komunitas Muslim
di Nusantara.
- Pendekatan politis yang
dilakukan oleh para ulama terhadap para raja dan elit politik, pada
akhirnya berhasil memunculkan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah
di Nusantara.
Keberhasilan
misi dakwah Islam tentu didukung oleh penerapan strategi dakwah yang jitu. Jika
kita simak perkembangan syiar Islam di Indonesia, maka akan dapat kita dapat
menjabarkannya melalui beberapa jalur sebagai berikut:
1. Kontak perdagangan
Jalur
perdagangan merupakan titik singgung agama Islam dengan penduduk Nusantara.
Penyebaran agama Islam pada masa awal di seluruh Nusantara dilakukan melalui
jalur perdagangan yang dibawa oleh para saudagar Muslim dari Arab, Persia,
Gujarat, termasuk juga Cina..
2. Melalui Perkawinan
Dikarenakan
banyaknya urusan dagang, sebagian saudagar Muslim ada yang memilih menetap di
Nusantara. Akhirnya mereka menikah dengan penduduk pribumi dan memiliki
keturunan sehingga mempercepat perkembangan Islam. Dari ikatan perkawinan ini
pula, Islam disebarluaskan kepada para kerabat mereka.
3. Ajaran Tasawuf
Para
wali dan ulama biasanya membekali diri dengan tasawuf, serta pola hidup sufi
yang penuh kesahajaan. Keluhuran ajaran tasawuf yang disampaikan oleh para wali
dan ulama sangat menarik simpati masyarakat, dan dipandang sangat sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Berawal dari simpati iinilah banyak penduduk yang
akhirnya secara sukarela memeluk Islam.
4. Pendidikan
Salah
satu jalur yang sangat efektif dan sistematis dalam penyebaran Islam adalah
melalui pendiidikan. Langgar, masjid dan pondok pesantren ikut memberikan
kontribusi yang sangat berarti bagi penyebaran agama Islam. Tempat-tempat
tersebut menjadi pilihan utama para kiai dan ulama dalam mencetak kader da'i
yang handal dalam usaha menyebar-luaskan agama Islam.
5. Seni dan budaya
Pendekatan
persuasif yang dilakukan oleh para wali dalam menyiarkan Islam (khususnya di
Jawa) sering menggunakan kesenian sebagai media dakwah. Demikian pula dalam
upaya menghindari gejolah di masyarakat, para ulama terdahulu tetap menghormati
dan melestarikan tradisi lama, namun dimaknai kembali dengan memasukkan unsur
ajaran Islam. Cara inilah yang dinamakan dengan corak ajaran sinkretisme.
6. Politik
Para
wali dan ulama banyak yang menduduki jabatan kunci di dalam kerajaan atau
kesultanan. Mereka dipercaya sebagai penasehat raja maupun Adipati yang telah
memeluk Islam. Posisi kunci ini turut memberikan kontribusi bagi percepatan
penyebaran Islam.
Demikian beberapa pelajara penting
yang bisa kita petik dari perjalanan penyiaran agama Islam di wilayah
Nusantara.